All posts by Qanitah

About Qanitah

Bekerja di Forum Studi Ulul Albaab (FSUA) Universitas Hasanuddin

Uraian Cinta

Lelah..letih..penat…

Itulah yang boleh jadi kita rasakan…

Itulah rasa yang senantiasa berkelebat dalam hati kita..

Rasa lelah dengan ujian yang bertubi-tubi.

Letih dengan segala problema yang menggelayut jiwa raga kita…

Penat dengan dengan beragam hal yang menguras otak kita untuk berpikir…

 

Dakwah…

Begitu berat untuk teguh diatasmu…

Seakan tak ada ruang yang tersisa untuk memberikan hak kepada jasad kita

Seakan tak ada ruang untuk sedikit istirahat dan berbalik

Seakan tak ada ruang untuk bercengkerama dengan diri

 

Hari ini dakwah memang bukanlah berperang…

Penaklukan itu bukan lagi menyerang dengan senjata…

Penaklukan kita adalah menaklukkan diri sendiri

Menaklukkan segala ego, malas dan sakit hati atas hal yang mestinya kita dahulukan

 

Jihad kita hari bukanlah qital

Jihad kita bukanlah angkat senjata

 

Tertatih-tatih, terpuruk, tergopoh

Dengan segala rintangan yang ada.

Ngos2annya kita dari mushalla ke mushalla untuk musyawarah

Untuk mengisi…untuk bertemu dengan mad’u kita.

Itulah jihad kita ukhti…

 

Tatkala penat merundung

Tatkala lelah semakin menggerogoti raga ini

Tatkala dakwah dan perjuangan ini semakin berat

Hingga pundak serasa sakit…

Tengadah tanganmu kpd Allah…

Kokohkan sujudmu dihadapan-Nya..

Mintalah segalanya pada-Nya…

 

Perhatian pemimpin kadang membuat kita merasa tak bersemangat.

Dengan mudahnya kita mundur dan berbalik dari amalan mulia ini

Seolah kita bekerja untuk mereka

Padahal kita bekerja untuk sebuah penaklukkan besar.

Menaklukkan almamater tercinta.

Ukhtiku…

Jangan ada lagi alasan berhenti.

8 Rajab 1434 H/18 Mei 2013 M

Bekal Pulang Ke ‘Rumah’

Teringat kisah yang membuat terenyuh,, kisah sang keledai yang di dalam sebuah kitab karya Ibnul Qayyim dinobatkan sebagai binatang yang paling pandir. Saking pandirnya, di dalam Al-Qur’an pun, dalam surah Al Jumu’ah: 5, “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”,  terdapat perumpamaan “keledai yang membawa kitab-kitab” yakni orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya.

Namun tahukah kita, ternyata sebodoh-bodoh hewan tersebut, ia tetaplah mempunyai keistimewaan, yakni jika ia di bawah keluar dari kandangnya di malam hari, maka hewan ini bisa mengetahui jalan untuk kembali. So, Ibnul Qayyim dalam buku tersebut mengatakan bahwa makhluk yang paling pandir dari keledai adalah orang yang tidak mengetahui jalan pulang.

Saudaraku…pulang yang dimaksud disini bukanlah pulang ke rumah yang setiap hari kita tempati untuk berlindung, kita habiskan harta kita untuk memperindahnya dan sebagainya, yang kita jadikan tempat bercengkerama dengan  keluarga kita, tapi yang dimaksudkan adalah pulang ke negeri akhirat. Negeri kekal kita.

Ketika berbicara tentang rumah yang satu ini, kadang banyak di antara manusia yang tak mau ambil pusing. Seolah-olah waktu masih panjang untuk melangkah kesana, seolah-olah sudah banyak persiapan untuk menuju ke kampung akhirat.

Padahal tak seorang pun yang bisa menjaminkan diri kita, entah kapan giliran penerbangan kita menuju kesana, setelah detik ini, jam ini, esok, lusa. Jika hari ini kita begitu disibukkan dengan urusan duniawi kita, maka kapankah kita mau mempersiapkan akhirat kita. Jangan sampai di setiap hembusan napas kita, pikiran kita, kesibukan kita hanya terhabiskan dengan perkara-perkara dunia kita.

Saudaraku…Islam bukan berarti melarang kita mengambil bagian di dunia ini. Ketika segolongan manusia pada zaman Rasulullah tampak melupakan dunianya, Allah pun menegur. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”(QS. Al Qashash 28 : 77)

Melupakan dunia saja Allah menegur, apatah lagi ketika kita melupakan akhirat kita. Padahal kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia. Untuk itu, ayo…selagi kesempatan itu masih ada, selagi nyawa masih dikandung badan, mari segera beramal untuk kehidupan yang penuh kenikmatan di akhirat kelak, di rumah kita.

Saudaraku…sudahkah siapkah kita melangkah pulang?

Jangan Hanya Membeo

Tahu burung beo? Yah tepat. Burung beo adalah sejenis burung yang bisa diperintahkan untuk meniru suara. Hal ini membuat istilah beo kadang dilekatkan pada manusia yang punya ciri khas yang sama. Kalau dikatakan manusia hari ini hobi membeo, kami rasa bukan sesuatu yang salah. Bagaimana tidak, kadang-kadang seolah kita sebagai insan tak punya rasa percaya diri. Kadang kita malah sibuk melirik dan mengidolakan orang lain atau sekelompok orang.

Masih teringat jelas, saat beberapa media selebriti memberitakan tentang sekelompok orang yang tengah mengenang kematian sang idolanya. Mereka berkumpul, berkunjung ke makam dan tempat-tempat yang bersejarah bagi sang idola. Sebenarnya sangat miris mendengarnya, saking nge-fans sama sang idola, semua barang bersejarah mulai dari foto, pakaian, pernak-pernik semuanya dimuseumkan, demi untuk mengenang beliau. Padahal sebagai umat Islam, sebaik-baik idola adalah Rasulullah dan Rasulullah manusia yang sangat pantas untuk diidolakan sama sekali tidak pernah memerintahkan kepada kita untuk berlebihan dalam mengidolakan sesuatu. Berdiri dengan maksud memberi penghormatan kepada diri beliau saja Rasulullah tak suka, apalagi dengan cara berlebihan yang lain.

Fenomena membeo yang lain juga tampak dalam berbagai hal. Hari ini budaya materialistis shopaholic, koreaholic dan “holic-holic” yang lain masih begitu merebak. Seolah kita tak punya apa-apa untuk dibanggakan, padahal Islam sepatutnya sangat membuat kita bangga.

Sekali lagi…mestinya sebagai umat Islam, kita merasa bangga dengan apa yang sudah digariskan oleh agama kita. Mestinya kita bisa selalu merujuk kepada apa yang menjadi syariat agama kita. Shohib sekalian, Islam itu agama yang sempurna, Allah sudah menjaminkan. Guaranteed. Ketika kita bisa menjalankan syariat Islam dalam kehidupan kita, maka insya Allah kehidupan manusia akan bahagia dan tentram. Menengok beberapa tragedi di negeri kita yang semakin hari semakin menggila. Sebut saja mutilasi, pembunuhan yang sangat sadis, bahkan lebih sadis dari pembunuhan semasa Islam ini belum ada. Kalo dulu pada masa jahiliyah, orang-orang Arab suka membunuh, tapi hari ini ternyata lebih jahiliyah lagi, karena bukan hanya dibunuh tapi juga dipotong-potong kemudian dibuang, adapula yang dimasukkan dalam koper. Na’udzubillah min dzalik.. Belum lagi dengan fenomena pemerkosaan. Sadis..bahkan tidak mengenal tempat, di angkot pun bisa. Hufftt. Begitulah potret manusia hari ini.

Allah begitu pengasih. Dia sudah tahu segala kelemahan dan kelebihan manusia. Dia pula yang lebih tahu bagaimana untuk bisa membuat manusia itu baik. Ibarat laptop, kalau kita mau laptop tersebut bisa bertahan lama, enak dipakai, dsb tentu kita mencari tahu lewat produsennya, tidak mungkin kita ingin bertanya pada PT. Honda karena bukan dia yang memproduksinya sehingga tidak tahu bagaimana seluk beluknya. Begitu pun dengan kita, yang menciptakan kita adalah Allah, sehingga Allah yang paling tahu akan diri kita, yang terbaik untuk kita.

Kerumitan dan kesengsaraan hidup manusia disebabkan karena dia tidak mangamalkan syariat Allah. Andaikata manusia semua taat, wanita muslimah menutup aurat dan laki-laki menundukkan pandangannya, maka tidak akan terjadi pemerkosaan. Kalau semua manusia bisa saling memahami hak masing-masing, saling melapangkan, tidak egois, dsb maka tidak akan terjadi pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang lain. Maka SOLUSI terbaik adalah kembali pada Allah.

Dakwah Ditengah Keterasingan

Dakwah adalah sebuah profesi yang menjanjikan kemuliaan. Yah…dakwah adalah sebuah profesi, meski para aktivisnya tak pernah digaji dengan rupiah, karena memang tak akan sepadan ketika sebuah profesi sebagai agen dakwah hanya dinilai dengan rupiah. Tak akan sepadan peluh keringat berjuang di jalan Allah, mengorbankan waktu, materi, tenaga dan segalanya bahkan nyawa pun, jika hanya dibalas dengan seonggok materi. Bayaran yang sepadan adalah pahala berlipat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bayaran tersebut sudah dijanjikan oleh Allah. Maka siapakah yang lebih menepati janji daripada Allah?

Menghadapi medan dakwah yang terjal penuh onak dan duri dengan berbagai macam karakteristik tantangannya tentu saja bukan hal yang mudah. Perlu tenaga dan kesabaran ekstra ketika menghadapinya. Perlu kelapangan hati yang seluas-luasnya dalam menghadapi segala cercaan dan hinaan orang-orang yang tidak senang dengan dakwah kita. Begitulah tabiat mendakwahkan sebuah kebenaran. Telah menjadi sebuah sunnatullah, setiap kebenaran awalnya akan ditolak, bahkan dihina dan dikatakan sesuatu yang gila. Namun lambat laun, kebenaran tersebut akan diterima sebagai sebuah kebenaran, tentu saja bagi orang-orang yang telah Allah kehendaki untuk diberikannya hidayah.

Kadangkala, bukan hanya kesabaran dalam artian bagaimana berhadapan dengan lingkungan dakwah yang penuh duri yang mesti digencarkan. Tak jarang dalam diri seorang aktivis dakwah, duri yang menghalanginya adalah dari dirinya sendiri. Tidak sedikit kemudian ada yang rela meninggalkan kerja-kerja dakwahnya karena sebuah ketidakenakan dan ketersinggungan antarsesama aktivis. Namun, sadarlah saudariku, dakwah tak akan maju dan berjaya ketika kita hanya terfokus pada penyakit-penyakit hati yang mesti diobati dari masa ke masa. Jangan biarkan syetan tertawa  terbahak-bahak karena telah berhasil melumpuhkan cita-cita tertinggi kita yakni menjayakan Islam dengan tegaknya syariat.

Memperjuangkan syariat ditengah keterasingan seperti hari ini memang bukanlah sesuatu yang mudah. Orang-orang yang kemudian menjadi penegak-penegak sunnah menjadi bahan ocehan, dibilang ekstrim, fundamentalis, dan berbagai title-title lain. Saya teringat dengan pernyataan seorang akhawat yang sharing tentang perjuangan dakwah dikampusnya, “Demo dari mahasiswa dan dosen, hijab yang ditarik, pintu mushalla yang digedor-gedor bukanlah sebuah pemandangan asing di lingkungan kami.” Yah begitulah, perjuangan yang terkadang menegangkan, menimbulkan ketakutan. Namun, satu hal bahwa apa yang rasakan hari ini tidaklah sebanding dengan apa yang Rasulullah rasakan dulu. Hari ini mungkin kita cuma merasakan tekanan perasaan saja, namun Rasulullah dahulu tak jarang mendapat tekanan fisik. Dalam shirohnya, tak jarang ia terluka karena ulah pamannya, Abu Lahab dan kaumnya, baik di Mekkah maupun diluar Mekkah, yang menentang dakwahnya. Tak hanya luka, nyawa pun terkadang menjadi taruhannya.

Semua orang berhak memperoleh indahnya sentuhan dakwah, karena hasil sentuhan dakwah itu adalah hidayah dan jalan menuju kebahagiaan hakiki. Jalan dimana semua orang sesungguhnya menginginkannya. Namun, terkadang justru hawa nafsulah yang mendominasinya, yang menyebabkan mereka lupa akan fitrahnya sebagai hamba Allah. Betapa mulianya ketika seseorang berhasil mengembalikan seseorang kepada fitrahnya yaitu cahaya Islam. Semoga kita semua digolongkan ke dalam orang-orang yang tak jenuh-jenuhnya berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar hingga syariat Islam ini tegak diatas muka bumi ini.

Medan dakwah yang beragam juga membutuhkan kelihaian seorang aktivis dakwah dalam bermain cantik nan indah guna mengeksiskan dakwahnya. Dakwah ditujukan kepada semua lapisan umur dan beragam latar belakang. Tua, muda, dia berstatus seorang mahasiswa, masyarakat umum, pejabat, pelajar, dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah mad’u (objek dakwah) kita. Berbagai lingkungan  tersebut merupakan lahan empuk keeksisan dakwah kita.

Menghadapi objek dakwah yang berbeda tentu juga memerlukan perlakuan yang berbeda. Ketika menghadapi mahasiswa mungkin kita perlu mengawalinya dengan diskusi-diskusi ringan, hingga nantinya ujung-ujungnya dikaitkan dengan syariat Islam. Kaum terpelajar memiliki pemikiran yang ilmiah sehingga dalam menyampaikan dakwah juga harus ilmiah sehingga lebih menyentuh.

Ketika mad’u kita adalah seorang pelajar SMP, mungkin dalam mendakwahkan jilbab, kita bilang “Dek, muslimah itu cantik, dan kecantikan itu tidak semestinya dibiarkan menjadi tontonan orang-orang yang tidak berhak. Coba liat, mahal mana kue yang cantik terbungkus plastik dan disimpan dalam etalase daripada kue yang tak terbungkus apa-apa lalu disimpan di dalam wadah, tanpa penutup lagi. Tentu kita lebih memilih kue yang terbungkus plastik dan  tersimpan dalam etalase tersebut karena kualitasnya pasti lebih bagus.

Saya juga tertarik dengan cara dakwah seorang akhawat, waktu itu lagi ada kegiatan baksos yang diadakan LDK. Salah satu agendanya adalah penyuluhan kesehatan gigi dan pesertanya adalah para ibu rumah tangga di sebuah daerah yang lumayan terpencil dan tingkat pendidikan yang umumnya masih rendah. “Bu,, kenapa pada saat sakit gigi itu, terkadang bagian yang lain ikut sakit, mata kita sakit, kepala juga ikut-ikutan pusing?? Itu karena saraf-saraf organ tersebut memang saling berhubungan satu sama lain. Makanya sangat penting untuk menjaga kesehatan gigi dengan rajin menggosok gigi. Dan tahu nggak Bu, Rasulullah dulu menggosok giginya pakai tangan kiri.” Spontan ibu-ibu peserta penyuluhan langsung mengangguk-ngangguk mengerti. Hmmm…seru kan? Yang pasti dakwah akan lebih menyentuh mad’u.

Begitulah dakwah harus fleksibel dengan beragam kondisi mad’u. Masih ingat kan dengan atsar Ali bin Abi Thalib, “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka.”?

Keep hamazah, wahai para mujahid-mujahidah.

Zaman Edan

Ada yang tidak sepakat? Yah…menurut saya zaman ini semakin edan saja. Melirik moral remaja, yang semakin hedonis, hobbinya hanya berhura-hura dan santai. Tampaknya masyarakat kini telah menjadi korban tuanya zaman. Zaman semakin memperlihatkan bukti-bukti akhir hayatnya. Gaya hidup masyarakat yang terus menerus membeo dengan trend yang ada, seakan tidak ada pijakan baku dalam hidup. Dengan mudahnya lahir berbagai gaya hidup, tanpa aturan, tanpa batas.

Siapa bilang hari ini bukan zaman edan? Bahkan serasa lebih edan lagi daripada sebelum Islam itu datang. Tengok saja ketika Islam belum datang, begitu banyak kejahiliahan yang bisa kita dapatkan dalam shiroh. Bagaimana manusia terdahulu memperlakukan anak perempuan dan wanita-wanita di antara mereka. Anak-anak perempuan sebelum Islam ketika lahir dikubur hidup-hidup, wanita yang bisa diwariskan dan masih banyak lagi deretan fenomena yang melawan fitrah manusia.

Ketika Rasulullah datang dan akhirnya Islam menjadi rahmatan lil’alamiin, kehidupan yang kelabu kini berubah menjadi kehidupan yang sakinah, penuh rasa cinta dan kemuliaan. Kehidupan dimana orang-orang saling bahu membahu, saling menolong bahkan hingga tahap mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Mereka saling berkasih sayang, senantiasa menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Sejuk lembut kehidupan begitu dirasakan oleh umat manusia. Pemimpinnya adalah pemimpin yang tawadhu, zuhud dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hingga ketika waktu itu datang, sang idola tercinta kini pergi menghadap Sang Khalik. Kepergiaannya meninggalkan beribu jejak dan asa, hingga Islam, Sang Pembawa Kedamaian hidup merajai 2/3 dunia ini dengan izin-Nya. Namun perlahan tapi pasti, roda waktu terus berputar, hingga qadar Allah menentukan kondisi dimana kita hidup saat ini. Kehidupan yang tengah kita rasakan.

Lalu mari tengok fakta demi fakta yang mengisi hari-hari kita saat ini. Hampir setiap hari entah menemani aktivitas kita atau di tengah kelelahan yang mengakhiri seabrek aktivitas seharian, si Kotak Ajaib pun menemani malam-malam, mengiringi agenda demi agenda malam untuk menyonsong esok hari, serasa tak lengkap jika presenter tak memberitakan informasi seputar pemerkosaan, pencabulan, korupsi, KDRT, pembunuhan dan berbagai kedzoliman lainnya. Rasanya bak sayur tanpa garam jika dalam satu hari berita-berita yang memiriskan jiwa tak mengisi lembaran-lembaran media cetak. Sepanjang hari beragam media cetak, lokal maupun nasional taka sing lagi kita menemukan pemberitaan itu menjadi headline.

Jika menelusuri lebih jauh, motif dan bentuk dari beragam kedzoliman itu juga sangat aneh-aneh. Yah namanya juga zaman edan. Kalau dulu pembunuhan biasanya dalam peperangan dan munculnya peperangan itu biasanya karena faktor sepele, nah hal itu tidak beda jauh dengan sekarang, bahkan lebih lagi. Orang bisa membunuh keluarga sendiri karena faktor cemburu, membunuh istrinya karena selingkuh dan sebagainya. Beda lagi dengan pembunuhan bayi, kalau dulu bayi perempuan akan dikubur hidup-hidup, nah sekarang mau perempuan atau laki-laki juga akan dibunuh, bahkan sebelum ia lahir (baca: aborsi). Apalagi ketika ia bukan hanya sekedar dibunuh, tapi juga dipotong-potong dan dibuang. Wah wah lebih sadis kan? Belum lagi persoalan pencabulan dan pemerkosaan. Ada-ada saja hal aneh yang terjadi. Ironi memang, seakan tak mengenal batas. Ada guru yang mencabuli siswanya, kakek yang mencabuli anak-anak, bahkan pemerkosaan yang terjadi di dalam angkutan kota. Na’udzubillahi min dzalik.

Begitu mudah seseorang itu melakukan sesuatu yang hura-hura. Bahkan manajemen dan cara publikasinya pun terkadang tidak perlu terlalu baik dan besar-besaran, energi yang dibutuhkan untuk mengajak seseorang ikut bergabung dalam suatu event atau komunitas yang di dalamnya ada kesenangan dan hura-hura, namun mengajak mereka dalam hal-hal yang berbau keagamaan begitu sangat sulit.

Belum lagi persoalan busana, busana yang hampir tiap tahunnya berganti mode. Berbicara masalah ini juga tak ada habisnya. Selalu tampil fashionable adalah kebanggaan bagi manusia di era ini terutama kawula muda tapi juga tidak menutup kemungkinan yang sudah dimakan usia juga selalu ingin tampil trendy. Ingin tampil gaul istilahnya atau tidak ingin dikatakan katrok. Meski banyak tantangan juga dalam mengenakannya, misalnya saja skinny jeans  namun tetap saja diminati.

Dengan mudahnya suatu biang kemaksiatan itu bermunculan. Dengan mudahnya orang-orang itu mengikuti apa yang mereka ingin lakukan memperturutkan hawa nafsunya. Sebaliknya pula, kegiatan yang bernuansa pembinaan akhlak dan agama seolah menjadi barang dagangan yang tak laku meski sudah dipoles dengan beragam konsep menarik guna menarik perhatian mereka. Konsep kegiatan Islam yang biasanya dipermak sedemikian rupa guna mengaet hati mereka layaknya barang tak layak pakai, kurang diminati. Hawa nafsu kini menjadi raja yang menguasai aktivitas manusia. Ia telah menjadi setir dalam perjalanan hidup manusia.

Tampil trendy memang tidak ada salahnya asalkan masih dalam koridor syar’i dan tidak membahayakan. Menjadi muslim tidaklah berarti menutup mata dari perkembangan teknologi, tidak mengikuti arus globalisasi, namun hendaklah tetap dipahami bahwa sebagai insan yang berpijak di bumi Allah, ada rambu-rambu yang mesti diikuti karena kita tidak hidup dengan keinginan dan dari diri kita sendiri. Namun Allah yang menciptakan kita, Allah pula yang berkehendak mengatur segala dalam hidup kita.

Hidup tidak hanya untuk hidup. Hidup bukanlah mengikuti kemauan kita karena bukan kita yang menjadikan diri ini hidup dan mati sendiri. Ibarat pekerja di sebuah perusahaan, sebuah pekerja harus memberikan hak kepada manajernya yakni bekerja dengan baik sesuai dengan kemauan manajernya, begitu pula kita sebagai manusia yang telah dihidupkan oleh Allah, juga mesti memberi hak kepada pencipta kita yakni bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh-Nya. Bertindak diluar seharusnya sama dengan mendzolimi. Ketika kita mengatur diri dan berbuat semau kita sama dengan kita telah melakukan kedzoliman besar dan kedzoliman yang terbesar adalah ketika mengadakan tandingan-tandingan kepada Allah.

Sudah Sejauhmana Peran Kita?

Menjadikan kalimat tauhid tegak setegak-tegaknya dimuka bumi ini, syari’at sebagai satu-satunya kiblat, Islam sebagai satu-satunya dien, dan Allah sebagai satu-satunya Rabb, merupakan cita-cita tertinggi seorang mujahid. Ketika tujuan ini telah menjadi visi hidup dan telah mendarah daging dalam sanubari pejuangnya, ia akan menjadikan semaksimal mungkin dirinya untuk menggapai cita-cita tersebut.

Hari ini, cita-cita tersebut memang masih sangat jauh. Kemaksiatan semakin hari merajalela, seolah segala lini kehidupan menjadi wasilahnya. Manusia-manusia semakin menelorkan sifat wahn, hingga berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta dunia, dan melupakan akhiratnya, seakan-akan hidupnya untuk selamanya. Tak pernah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang lebih kekal. Allah, tidak menjadi satu-satunya Rabb, meski disetiap shalatnya ia selalu melafadzkan bahwa Allah satu-satunya dzat yang pantas diibadahi.

Namun, Allah telah menjanjikan kemenangan bagi Islam. Suatu saat agama ini pasti menang, suatu saat agama ini akan ditampakkan diatas segala agama. Sebagaimana yang dikabarkan dalam surah Ash-Shaff: 9.

“Dialah yang mengutus seorang rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik benci.”

Sebagai hamba yang merindukan kemenangan itu, tentu kita ingin mengambil peran didalamnya. Tak inginkah kita menjadi salah satu dari beribu batu bata penyusun bangunan kokoh kemenangan Islam ini? Jika suatu ketika, kemenangan itu datang, dan diri kita ternyata menjadi salah seorang pejuang kemenangan itu. Bukan untuk berbangga diri, tapi kita ingin turut mengambil bagian dalam perjuangan mulia ini, karena kita yakin akan janji Allah bagi orang-orang yang mencari keridhoan Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Ash Shaff: 10-11)

Menjadi seorang pejuang dakwah, tidaklah cukup dengan sekedar niat dan kerja yang “ala kadarnya”. Dibutuhkan azzam yang kuat serta keberanian untuk menghadapi segala tribulasi dakwah, baik dari dalam diri maupun di lingkungan kita, begitu pun rela bersakit-sakit untuk menerima segala konsekuensinya. Begitulah perjuangan, butuh pengorbanan tak terkira, namun ketahuilah bahwa balasannya juga tak terkira.

Syabaab, mana semangatmu? Hari ini kita hanyalah melanjutkan perjuangan dakwah Rasulullah. Hari ini perjuangan kita tak sehebat dulu, pengorbanan kita masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah dan sahabatnya dalam menegakkan kalimat Allah. Hari ini, kita baru berpeluh keringat, mengorbankan sedikit waktu , sisa dari seabrek aktivitas kita. Bandingkan dengan pengorbanan para salafush shaleh, yang berjuang bertarung nyawa, berpeluh darah, penuh konspirasi, hingga mereka kadang hanya bisa memakan daun-daunan demi untuk mempertahankan keislamannya.

Ingatkah kita dengan siksa yang dialami Mush’ab bin Umair? Sebelumnya hidup berkelimpahan harta, namun ketika beliau mengikrarkan syahadat, beliau diusir dari rumah dan tidak diberi makan, hingga kulitnya mengelupas seperti ular yang berganti kulit, saking keras siksa yang dihadapinya. Ingatkah kita dengan dengan perjuangan Ammar bi Yasir Radhiyalahu Anhu, budak Bani Makhzum yang masuk Islam bersama bapak dan ibunya, lalu orang-orang musyrik menyeret mereka ke tengah padang pasir yang panas membara lalu menyiksa mereka. Ingatkah  kita dengan kerasnya siksaan yang Rasulullah terima tatkala berada di Tha’if? Teriakan, cercaan hingga lemparan batu menjadi bunga-bunga perjuangan beliau demi menyebarkan Islam dan menyampaikan risalah Allah yang abadi.

“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)

Lantas bagaimana dengan kita? Sudah sejauhmana perjuangan kita?  Harusnya, kita malu pada Zaid bin Tsabit. Ketika kota Madinah sedang bersiap untuk menghadapi perang Badar dan Rasulullah memeriksa pasukan yang akan menyertai beliau berjihad fie sabilillah dan mengokohkan Kalimah-Nya di muka bumi, beliau datang sambil berucap, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.” Sampai-sampai Rasulullah begitu kagum. Zaid yang masih berusia 13 tahun dan belum bisa untuk diikutikan berperang, pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya murung karena tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam perangnya yang pertama. Subhanallah.

Saudariku…

Bangkitlah… Berjuanglah… Hingga dien ini tegak. Entah itu kita akan merasakan langsung hasilnya, ataupun anak cucuk kita nanti yang akan merasakannya. Istiqomahlah diatas perjuangan ini. Sungguh kemuliaan menanti orang-orang yang mencari keridhoan Allah.

Jangan Ada Kata Mengeluh

              Sadar atau tidak, diri kita terkadang begitu mudah mengeluhkan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan dan rencana kita. Tatkala hujan datang misalnya, buru-buru lisan kita mengomel, “Duh…hujan, mana cucianku banyak lagi. Bisa-bisa nggak kering nanti.” Atau tatkala terik mentari begitu kuat menyengat, “Aduh…panasnya hari ini.” Ataukah mengeluh atas musibah yang kita alami, dan masih banyak keluhan kita yang lain.

 Syukur nikmat…

 Hidup penuh dengan tantangan. Namun kita tidak boleh lari tantangan tersebut karena tantangan itulah yang membuat kita tangguh. Menjalani hidup dengan setumpuk rencana dan harapan, jika tidak dilandasi dengan iman maka akan membuat manusia terbuai dengan dunia. Keinginan-keinginan yang terkadang tidak terealisasi dengan baik sesuai dengan rencana biasanya akan memunculkan sifat putus asa yang akhirnya akan berbuah keluh kesah dan menyalahkan keadaan.

Manusia memang suka berkeluh kesah. Tatkala hujan lebat turun, ia akan mengeluh becek, banjir dan lain sebagainya. Tatkala terik matahari menyengat maka ia pun mengeluh dengan kepanasan, kekeringan dan lain sebagainya. Jika rencananya gagal, ia akan buru-buru menyesal, berandai-andai, dan mengeluhkan apa yang terjadi pada dirinya hari itu. Seolah-olah tidak ada momen untuk tidak mengeluh. Memang bukan sesuatu yang mengherankan, dalam Al Qur’an digambarkan sebuah sifat manusia yang suka berkeluh kesah.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan  ia amat kikir, kecuali orang-orang yang sholat.”

(QS. Al-Ma’arij: 19-22)

Manusia terkadang memandang bahwa apa yang terjadi pada dirinya, yang tidak sesuai dengan keadaannya, akan menimbulkan sebuah masalah bagi dirinya. Ia pun merasa tidak siap dengan masalah itu. Sebuah kisah, ada seseorang yang sangat menyesal melanjutkan pendidikannya di suatu sekolah. Tiap hari ia mengeluh dan berkata, “Seandainya dulu, aku tidak menuruti perintah orang tuaku untuk melanjutkan pendidikan disini, maka aku tidak akan seperti ini dan dalam kondisi begini.” Tapi ternyata, berjalan beberapa bulan di sekolah itu, ia pun akhirnya sadar. Di tempat ia sekarang melanjutkan pendidikan, ia bertemu dengan teman-teman muslimah yang masya allah punya ghirah untuk belajar ilmu syar’i. Ia pun sering diajak oleh teman-temannya, mulai membaca buku, diskusi-diskusi hingga ikut kajian. Dan alhamdulillah, ia pun ikut dan akhirnya memperoleh hidayah dan sekarang sudah rutin ikut kajian, bahkan terlibat dalam dunia dakwah. Ia akhirnya mereview kisah-kisahnya masa lalu. Jikalau saja ia tak melanjutkan pendidikan disekolah tersebut, boleh jadi ia belum mendapatkan hidayah, karena yang pertama kali memperkenalkan ilmu syar’i, kajian, dsb adalah teman-teman muslimahnya di sekolah tersebut.

 Mengapa kita mengeluh?

 Keluhan biasanya muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan cita-cita dengan realitas yang ada. Tingginya angan-angan yang tidak disertai dengan tawakkal kepada Allah, menyebabkan hati merasa bahwa segalanya harus terjadi sesuai dengan keinginannya. Padahal segala sesuatu itu akan terjadi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah melalui qadha’ dan qadar-Nya. Sebagaimana firman Allah,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis di dalam Lauh Mahfudz sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid: 22)

            Ketetapan Allah merupakan  sesuatu yang harus diyakini kebenarannya, yakni kita menyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan ketentuan  Allah, dan segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa sepengetahuan, seizin dan ketentuan Allah.

            Ketetapan Allah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, karena ketetapan tersebut sudah merupakan bagian dari rencana Allah yang Maha Sempurna. Allah adalah Dzat yang menciptakan manusia, bumi dan seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Allah-lah yang lebih tahu dan lebih mengenal seluruh makhluk-Nya karena Dialah yang menciptakan kita. Ibarat handphone, tentu yang lebih tahu seluk beluk handphone tesebut adalah sang pembuat handphone, bukan handphone itu sendiri atau orang lain, Karena yang merakit dan mendesain handphone tersebut adalah sang pembuat handphone sehingga dialah yang lebih tahu mengenai handphone tersebut. Begitu pun antara manusia dan Allah, Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya sehingga Dia tahu kelebihan, kelemahan, kebutuhan dan segalanya yang berkaitan dengan manusia.

Lagipula segala ketetapan Allah yang Dia ciptakan, misalnya sebuah musibah  tidak dibebankan kepada manusia jika ia tak sanggup untuk memikulnya. Segala apa yang kita alami adalah karena memang kita sanggup untuk melaluinya.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dalam ayat yang lain disebutkan bahwa,

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Qamar: 49)

            Segala sesuatu ketetapan Allah merupakan suatu yang baik, hanya saja terkadang kita tidak tahu dan menganggap bahwa semua yang kita alami yang berupa ujian tersebut merupakan mara bahaya bagi kita. Padahal Allah tidak menentukan sebuah qadha’ bagi hamba kecuali qadha’ itu baik baginya. Sebagai makhluk Allah kita tentu saja tidak bisa menjangkau  dan mengetahui rencana Allah. Ilmu Allah begitu luas dan sangat  sedikit yang diketahui oleh manusia.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

            Sebuah pertanyaan pernah dilontarkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Apakah maksiat itu baik bagi seorang hamba?” Dia menjawab: “Ya! Namun dengan syarat dia harus menyesali, bertaubat, beristighfar, dan merasa sangat bersalah.” Maksiat yang membuahkan taubat yang sebenar-benarnya taubat. Taubat yang membuat kita tak ingin bermaksiat lagi. Taubat yang menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya, selalu bersemangat melakukan amal shalih tanpa lelah, berpaling dari maksiat sekuat mungkin, serta mengubur kenangan manis masa lalu yang tenyata berkubangan dosa.

 Makna Ujian

             Boleh jadi apa yang kita alami, berupa kekurangan, kegagalan adalah merupakan ujian dari Allah, sebagaimana firman Allah

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 155)

            Allah ingin menguji sejauhmana kesabaran kita, dan ujian juga merupakan ladang pahala ketika kita melaluinya dengan sabar. Ujian juga merupakan suatu pembeda antara orang mukmin dan munafik. Mengapa?? Karena ujian itu sulit, dan karena kesulitannya tidak semua orang bisa lolos. Kalau ujian tidak sulit, atau bahkan sangat mudah, maka semua orang akan lolos.

“Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al Ankabut: 1-3)

            Ujian bukanlah sesuatu yang mustahil, sebab kalau mustahil dilakukan, maka keduanya akan gagal, baik orang mukmin maupun orang munafik. Ujian Allah kepada hamba-Nya tidak sedikit jumlahnya. Allah akan terus menguji makhluk-Nya hingga titik terlemah dari dirinya.

            Sesungguhnya segala kekhawatiran dan ketakutan yang berujung pada munculnya berbagai keluhan-keluhan adalah bukti masih rendahnya tingkat keyakinan dan keimanan kita kepada Allah, keyakinan kita akan qadha’ dan qadar Allah dan masih rendahnya rasa tawakkal kita kepada Allah. Rendahnya keyakinan kita akan kemahasempurnaan rencana Allah berbuntut ketakutan akan apa yang terjadi dan yang akan terjadi pada diri kita.

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath Thalaq: 2-3)

            Semoga kita termasuk hamba yang selalu tawakkal akan segala ketetapan Allah. Semoga ujian yang kita alami menjadi ladang pahala bagi kita, dengan melaluinya dengan penuh kesabaran. Hakikat sabar adalah pada benturan pertama. Semoga Allah menganugrahkan kita hati yang selalu ghirah memperbaiki keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah.